PortalNTB.com – Kecelakaan terjadi di lokasi pacuan kuda tradisional yang melibatkan joki cilik di Kelurahan Sambi Na’e, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin sore, 14 Oktober 2019.
Muhammad Sabila Putra (10 tahun) meninggal dunia akibat terjatuh dari kuda saat pacuan. Kuda yang ditungganginya cidera dan jatuh. Dia tertindih dan mengalami cidera di kepala.
Korban tergeletak pisang dengan mulut mengeluarkan darah. Dia kemudian dinyatakan meninggal setelah sempat dibawa ke rumah sakit.
Bocah laki-laki yang masih duduk di kelas empat SD itu meninggal dunia dengan tragis di tengah lintasan pacuan kuda. Dia meninggal dalam ajang pacuan kuda yang diselenggarakan untuk merayakan event perebutan piala Walikota Bima menyambut HUT TNI ke 74 tahun 2019.
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Joko Jumadi, mengatakan saat ini tengah berkoordinasi dengan LPA Kota Bima untuk menginvestigasi kematian korban.
“Tidak hanya menyayangkan, kita selalu menolak pacuan kuda dengan joki anak, karena dampaknya sangat luar biasa,” katanya di Mataram, Selasa, 15 Oktober 2019.
Joko mengatakan, dampak pacuan kuda yang melibatkan anak tidak hanya dari sisi keselamatan. LPA melihat adanya eksploitasi anak dan rusaknya pergaulan anak.
“Tidak hanya soal keselamatan anak saja tapi dari sisi pergaulan. Kita juga melihat kemungkinan adanya eksploitasi anak di kasus-kasus joki anak yang di Sumbawa dan di Bima, termasuk di Lombok,” ujarnya.
Joko mengatakan ada indikasi eksploitasi anak dalam ajang balapan kuda tersebut. Anak sering dijadikan objek meraup keuntungan di arena pacuan kuda.
“Ini disadari atau tidak dalam kasus joki anak ada putaran uang. Satu anak bisa sampai Rp10 juta dalam sekali event, yang menikmati sebenarnya orang tua, dan orang tua yang mempekerjakan anak menjadi joki. Misalnya dijaga ketat agar berat badannya tidak naik,” katanya.
Selain itu, kata Joko, di lokasi pacuan kuda juga sering digunakan sebagai ajang judi, merokok hingga minuman keras. Ini berdampak pada pergaulan dan kesehatan anak.
“Belum lagi mereka meninggalkan bangku sekolah untuk menjadi joki. Mereka akhirnya tidak sekolah dalam jangka waktu bisa sampai sepuluh hari, karena lokasinya tidak dekat dengan sekolah,” ujarnya.
Diketahui, sebagian besar kuda tersebut merupakan milik pejabat daerah. LPA menyadari itu merupakan problem serius tentang komitmen Pemda tentang perlindungan anak. Terlebih lagi, sarana keselamatan anak saat pacuan kuda sangat minim. Bahkan video yang beredar, joki cilik yang terjatuh harus dilarikan ke rumah sakit karena jarang ada petugas kesehatan di lokasi pacuan.
“Ini persoalannya tidak hanya soal eksploitasi, tapi para petinggi wilayah. Yang punya kuda sebenarnya pejabat juga, ada bupati sampai gubernur. Ini menjadi problem tersendiri. Kami tidak menolak pacuan kuda, tapi pacuan kuda dengan joki anak, apalagi keamanan minimalis,” ujarnya. (PN)
Sumber: https://koranntb.com/
Tidak ada komentar