Mataram - Pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Mataram Prof H Tajidan menyatakan perkebunan tembakau mampu memberdayakan dan mengangkat harkat hidup warga di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Tidak diragukan bahwa komoditas tersebut menjadi penopang penting ekonomi dan dapat memberdayakan serta mengangkat harkat hidup warga Lombok," kata Tajidan, ketika menjadi pembicara dalam forum grup diskusi membahas masa depan pertembakauan NTB, di Mataram, Senin.
Ia menyebutkan peranan perkebunan tembakau dalam memberdayakan dan mengangkat harkat hidup warga Pulau Lombok dapat ditinjau dari karakteristik usaha tani tembakau dan potensinya.
Pulau Lombok merupakan daerah penghasil Tembakau Virginia paling banyak di Indonesia. Di samping menghasilkan tembakau rakyat sebesar 15 persen.
Dari sekitar 140.000 ton kebutuhan Tembakau Virginia di dalam negeri, sekitar 100.000 ton atau sekitar 70 persen dipenuhi dari impor.
"Dari 40.000 ton produksi dalam negeri untuk kebutuhan nasional, sekitar 80 persen dihasilkan di Pulau Lombok," ujarnya.
Ia juga menyebutkan usaha tani tembakau merupakan usaha yang padat modal dan tenaga kerja. Dalam satu hektare luas lahan membutuhkan dana sekitar Rp50 juta dan tenaga kerja yang terserap selama 5-6 bulan sekitar 500 Hari Kerja Orang (HKO).
Hal itu berimplikasi terhadap berkembangnya lembaga keuangan pedesaan, baik formal maupun non-formal, bank maupun non-bank. Selain itu, terciptanya peluang kerja bagi anggota rumah tangga petani tembakau, dan bagi banyak rumah tangga buruh tani.
Jumlah petani dan pengoven tembakau diperkirakan sebanyak 20.000orang dan menyerap tenaga kerja sekitar 156.000 orang.
"Perkebunan tembakau di Lombok juga menciptakan peluang kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat di luar usaha pertanian, seperti usaha dagang, jasa angkutan, dan usaha lain," ucap Tajidan.
Ia mengatakan peranan komoditas tembakau bagi masyarakat Lombok dan NTB secara umum, juga dapat dilihat dari jumlah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima dari pemerintah pusat.
Pada 2010 DBHCHT yang diterima adalah Rp119 miliar, kemudian terus meningkat setiap tahun. Pada 2019 sudah mencapai Rp295,6 miliar.
"Dana tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi daerah penghasil tembakau di Pulau Lombok, tapi untuk semua daerah kota/kabupaten se-NTB," katanya.
Menurut dia, usaha tani tembakau yang memberikan efek positif bagi perekonomian warga Pulau Lombok juga memiliki banyak resiko yang harus selalu diwaspadai.
Beberapa resiko tersebut, di antaranya resiko produksi karena sangat peka dengan perubahan iklim (curah hujan), resiko harga karena berhadapan dengan pasar global, resiko pembiayaan karena membutuhkan modal yang besar, dan resiko kebijakan karena dianggap sebagai sumber banyak penyakit dan penyebab banyak kematian.
Untuk itu, kata Tajidan, salah satu cara yang efektif untuk mengantisipasi munculnya resiko adalah dengan menjalin hubungan kemitraan yang baik.
"Harus ada saling mempercayai, saling membutuhkan, saling mempekuat dan saling menguntungkan antara petani dengan perusahaan tembakau atau pabrik rokok, dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang tegas," katanya. (PN)
Sumber: https://mataram.antaranews.com/
Tidak ada komentar