Kominfo
- Akademisi Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih SH MH
menganggap jika Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) adalah beleid yang tidak hanya memberikan ketegasan, namun
juga keadilan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah adanya alternatif
sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana.
"Keunggulan dari
RUU KUHP itu adanya alternatif-alternatif sanksi. Pidana penjara bisa
diganti pidana denda, pidana denda bisa diganti dengan pengawasan atau
kerja sosial," kata Surastini saat acara Dialog Publik RUU KUHP yang
diselenggarakan di Bandung, Rabu (07/09/2022).
Ia pun memberi
contoh dalam salah satu pasal terkait dengan Penggelandangan yang
dianggap sebagai tindak pidana. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa
pelarangan mengelandang merupakan batasan untuk menjaga ketertiban umum.
Sanksinya bukan perampasan hak kemerdekaan namun hanya pidana denda
atau lainnya.
"Rumusan perbuatan menggelandang apabila mengganggu
ketertiban umum bisa dijerat pasal ini. Sanksinya bukan perampasan hak
kemerdekaan melainkan pidana denda. Pidana denda bisa dialternatifkan
menjadi pengawasan atau kerja sosial," jelasnya.
Pemerintah pun
menurutnya juga serius dalam menyempurnakan beleid ini, yang terlihat
dari upaya pelibatan seluruh komponen bangsa dalam berbagai diskusi.
Langkah ini diyakini bukan hanya memberikan kepastian hukum yang
konkret, namun juga membawa Indonesia menghasilkan hukum modern dan
mencerminkan nilai luhur bangsa.
Meski demikian, katanya, masih ada sejumlah pasal yang menjadi isu krusial dan perlu pembahasan agar menjadi lebih jelas.
Isu
tersebut di antaranya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat (the
living law), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat
presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan
gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin.
Kemudian
terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih,
contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak
diperkenankan, advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu
profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus),
penodaan agama, penganiayaan hewan, penggelandangan, pengguguran
kehamilan atau aborsi, perzinahan, kohabitasi dan pemerkosaan.
Senada
dengan Surastini, Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang (RUU KUHP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham), Albert Aries, pun meminta seluruh elemen bangsa termasuk
masyarakat untuk terus terlibat memberikan masukan terhadap
penyempurnaan beleid tersebut, sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
"Sosialiasi
dan dialog publik sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus
2022. Ini tentu agar RUU KUHP mendapat masukan dari masyarakat," kata
Albert.
Pihaknya pun optimistis, dengan dibukanya komunikasi dan
dialog publik, tidak hanya menguatkan, tapi yang paling penting
masyarakat paham pasal perpasal dari RUU KUHP sebelum disahkan menjadi
Undang-Undang.
“Termasuk 14 pasal krusial seperti penghinaan
terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di pasal 218,
dan 219. Masyarakat akan memahami 14 isu krusial RKUHP serta
keunggulannya sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan yang modern,
yang mengusung keadilan restoratif, keadilan korektif dan keadilan
rehabilitatif,” katanya.
14 Pasal Krusial RKUHP
Berikut
daftar 14 pasal krusial merujuk naskah RKUHP hasil perbaikan terakhir
dalam rapat pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 7 Juli
2022.
1. Living law atau pidana adat
Pasal 2 dan Pasal 96
mengakui hukum yang hidup di tengah masyarakat sebagai acuan untuk
mempidanakan seseorang, sekalipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
KUHP.
Living law atau pidana adat dalam RKUHP berlaku selama
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan
asas hukum umum yang diakui masyarakat. Pasal ini juga berlaku hanya
dalam kondisi tertentu dan tempat hukum adat tersebut hidup.
"Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang
ini," demikian bunyi Pasal.
2. Pidana mati
Pemerintah
sebelumnya mengusulkan agar pidana mati menjadi opsi terakhir yang
dijatuhkan. Pidana mati menjadi ancaman alternatif dengan pidana penjara
waktu tertentu, yaitu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur
hidup.
Pidana mati juga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan
selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan. Jika terpidana selama masa
percobaan menunjukkan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah
menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
"Pidana
mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat".
3. Penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden
Ketentuan
soal penyerangan atau menghina presiden dan wakil presiden diatur dalam
Pasal, 218, 219, 220. Pasal itu menyebut, setiap warga negara yang
menghina presiden dapat dipidana 3,5 tahun.
Pasal tersebut
merupakan delik aduan. Artinya, penuntutan bisa dilakukan hanya jika
dilaporkan oleh presiden atau wakil presiden.
"Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut
berdasarkan aduan; Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
4. Memiliki kekuatan gaib
Pidana
ini masuk dalam delik materiil. Artinya, seseorang dapat dipidana
karena perbuatannya menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental
atau fisik seseorang.
Pemerintah mengakui tindak pidana ini
merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi
karena sifatnya yang sangat kriminogen, atau dapat menyebabkan tindak
pidana lain.
"Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau
memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya
dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik
seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1,5 tahun".
5. Unggas dan ternak yang rusak kebun
Pemerintah
dan DPR menambahkan frasa "yang menimbulkan kerugian" pada Pasal 278
yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya
berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman
milik orang lain.
Perubahan ini membuatnya menjadi delik
materiil. Pasal ini dibuat untuk melindungi para petani dan
penyempurnaan dari KUHP sebelumnya.
"Setiap Orang yang membiarkan
ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi
benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih
atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II".
6. Contempt of court
Contempt
of court atau mengatur soal penghinaan terhadap proses peradilan.
Pemerintah mengubah ketentuan dalam Pasal 281, terutama huruf c yang
menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara
langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan
yang sedang berlangsung.
Ketentuan itu dibuat untuk mencegah live
streaming saat sidang berlangsung. Tujuannya demi ketertiban umum, dan
menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
"Setiap
Orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi
sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama hakim dipidana
dengan pidana penjara paling lama bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II".
Beberapa pasal yang mengatur soal contempt of court yakni Pasal 280 dan 281.
7. Penodaan agama
Pasal
302 mengatur, setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakukan
perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia
dipidana maksimal lima tahun.
Begitu pula jika tindakan tersebut
dilakukan dengan maksud agar diketahui orang banyak, dapat diancam
pidana lima tahun. Pasal penodaan atau penghinaan agama diatur dalam
beberapa pasal yakni, pasal 302, 303, dan 304.
"Setiap orang di
muka umum yang menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau
diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau
kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak
kategori V," demikian bunyi Pasal 302.
8. Penganiayaan hewan
Terancam
pidana penjara hingga satu tahun bagi setiap orang memanfaatkan hewan
di luar kemampuan kodratnya yang dapat merusak kesehatan hingga
menyebabkan kematian hewan tersebut.
Pada Pasal 340 ayat 1 huruf
(a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk
mengganti frasa "berpengaruh" menjadi merusak. Pada penjelasan,
ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah
kemampuan hewan yang alamiah. Penganiayaan hewan diatur dalam beberapa
pasal yakni 338, 339, dan 340.
9. Mencegah kehamilan dan
menggugurkan kandungan Ketentuan soal alat kontrasepsi diatur dalam tiga
pasal. Masing-masing Pasal 412, 413, dan 414.
Pasal 412
menyebutkan, setiap Orang yang secara terang-terangan menawarkan atau
menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana
denda paling banyak kategori satu.
Namun, pidana tidak dapat
dijatuhkan jika yang melakukan hal tersebut merupakan seorang kompeten,
atau dilakukan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
10. Aborsi
Aborsi
atau pengguguran kandungan diatur dalam sejumlah pasal khusus dalam
RKUHP. Merujuk naskah terakhir hasil rapat pemerintah dan DPR, Pasal
aborsi di antaranya diatur dalam Pasal 467, 468, dan Pasal 469.
Pasal 467 ayat 1 menyebutkan, "Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun".
Namun,
pidana tidak berlaku jika aborsi dilakukan kepada korban kekerasan
seksual dengan masa kehamilan tidak lebih dari 12 minggu atau ada
indikasi darurat medis.
Kemudian, ancaman pidana berlaku bagi
pihak yang yang melakukan aborsi terhadap perempuan, baik dengan atau
tanpa persetujuan. Ancaman penjara lima tahun jika aborsi dilakukan
dengan persetujuan perempuan.
Sedangkan, pidana penjara 12 tahun jika tanpa persetujuan.
11. Gelandangan
Gelandangan
diatur dalam pasal 429. Di dalamnya menyebutkan, "Setiap Orang yang
bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban
umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (atau sekitar
Rp1,5 juta)".
12. Perzinaan
Pasal perzinaan merupakan
delik aduan. Artinya, penuntutan hanya bisa dilakukan terhadap pelaku
jika hanya dilaporkan dua pihak. Pertama, suami atau istri. Kedua, orang
tua atau anak.
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan
orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan, dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak
kategori II (Rp7,5 juta)," demikian bunyi Pasal 415.
13. Kohabitasi atau kumpul kebo
Kohabitasi
adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan
pernikahan. RKUHP mengancam pidana bagi seseorang yang melakukan
kohabitasi.
Pasal kohabitasi diatur dalam Pasal 416. Ayat 1
menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami
istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Namun, sama
halnya dengan perzinaan, kohabitasi juga hanya bisa dilakukan penuntutan
jika dilaporkan dua pihak, suami atau istri; anak atau orang tua.
14. Perkosaan
Ketentuan
soal perkosaan berubah dari semula diatur dalam Pasal 479 menjadi Pasal
477. Di dalamnya menambahkan aturan mengenai persetubuhan dengan
penyandang disabilitas mental pada ayat (2) huruf d.
Sumber: infopublik.id
Tidak ada komentar