Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah direvisi rupanya sempat menuai penolakan dari beberapa pihak, namun demikian, KUHP yang baru mampu mendorong keadilan korektif dan restorative yang dibutuhkan di zaman sekarang.
Perlu diketahui bahwa keadilan
korektif adalah, keadilan yang berkaitan dengan pembetulan yang salah,
memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi
pelaku kejahatan.
Sedangkan keadilan Restoratif merupakan pemulihan
hubungan baik antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan, sehingga
hubungan antara pelaku kejehatan dengan korban kejahjatan sudah tidak ada
dendam.
Mufti Makarim selaku Tenaga Ahli Utama Kedeputian V
Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan bahwa KUHP mampu mendorong pemenuhan
keadilan korektif dan restorative.
Dirinya menyatakan, bahwa KUHP
saat ini hadir sebagai wujud paradigma hukum pidana modern Indonesia dan
mengandung elemen keadilan korektif dan restoratif yang relevan dengan
nilai-nilai kemanusiaan serta mengedepankan perspektif yang kontekstual dalam
melibat suatu peristiwa pidana.
Elemen keadilan korektif pada
KUHP tercermin pada upaya penjeraan terhadap pelaku kejahatan, khususnya dalam
tindak pidana yang mengancam keselamatan jiwa dan mengandung kekerasan. Dalam
konteks yang lebih luas, diharapkan akan terjadi deterrence effect demi
mencegah masifnya dan tindak pidana serupa ke depan.
Di sisi lain, Mufti juga
menyampaikan bahwa konsep pemidanaan pada KUHP kini jauh lebih kontekstual,
karena mengatur beberapa upaya keadilan restoratif atau penyelesaian
permasalahan hukum secara humanis.
Sebelumnya, pendekatan keadilan
restoratif diatur dalam Surat Pendekatan Keadilan restoratif yang diatur dalam
Surat Keputusan Direktur Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia, tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif
(Restorative Justice).
Mufti menegaskan, melalui
Judicial Pardon atau pemaafan, hakim memiliki kewenangan untuk memberi maaf
pada seseorang yang melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan. KUHP baru
juga turut mengedepankan konsep pidana yang memperhatikan kepentingan pemulihan
korban tindak pidana.
Dirinya menyampaikan bahwa aspek
restoratif ini penting untuk menjamin tercapainya keseimbangan dalam pencapaian
tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Dalam konteks KUHP, upaya
restoratif ini menjadi hal yang penting, karena tujuan hukum tidak terbatas
pada pencapaian kepastian hukum semata, tetapi juga harus mampu mencapai
keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Tujuan-tujuan inilah yang ruangnya
turut dibuka dalam upaya restoratif di KUHP.
Mufti menyatakan bahwa ke depan
pemerintah akan berfokus pada sosialisasi KUHP kepada para Aparat Penegak Hukum
(APH), sebelum KUHP berlaku efektif tiga tahun mendatang.
Ia juga berharap, agar aparat
penegak hukum mampu memahami KUHP dengan baik serta memastikan
pengimplementasian KUHP ke depan konsisten dengan semangat awal dari penyusunan
KIHP baru ini.
APH perlu memahami bahwa KUHP
saat ini mengatur keseimbangan-keseimbangan seperti antara kepentingan umum
atau negara dan kepentingan individu, antara unsur perbuatan dan sikap batin,
antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup
dalam masyarakat, serta antara nilai nasional dan nilai universal.
KUHP Peninggalan zaman kolonial
Belanda yang masih dipakai sampai saat ini, secara politik hukum belum
mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah
Negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu
segera diganti dengan produk hukum nasional.
KUHP yang baru memiliki putusan pemaafan oleh
Hakim, di mana Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak
dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, segi
keadilan dan kemanusiaan.
KUHP memiliki misi dekolonialisasi yang berarti
menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan
keadilan korektif-rehabilitatif-restoratif. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
(Standard of Sentencing) dan memuat alternatif sanksi Pidana. Misal pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial, jika tidak lebih dari lima tahun.
Selanjutnya adalah misi
konsolidasi yaitu melakukan Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama
dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi
(terbuka-terbatas).
Tujuannya adalah menghimpun
kembali aturan-aturan yang berserakan untuk dihimpun kembali ke dalam KUHP.
Selain itu adapula misi
harmonisasi sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan
hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Pada kesempatan berbeda, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, mengatakan KUHP baru memperluas
jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Terdapat tiga
jenis pidana dalam KUHP baru yakni pidana pokok, pidana tambahan dan pidana
khusus. Dalam penjatuhan hukuman, pelaku tindak pidana dapat diganjar hukuman
pidana pokok dan pidana tambahan.
Ada sejumlah pidana tambahan yang
diatur dalam KUHP baru, salah satunya adalah pencabutan hak tertentu.
Pencabutan hak memegang jabatan publik pada umumnya, atau jabatan tertentu.
Kemudian hak menjadi anggota TNI dan Kepolisian.
Oleh karena itu KUHP yang baru
tentu saja perlu untuk mewujudkan keadilan korektif serta keadilan restorative.
Tidak ada komentar