RUU Perampasan Aset Pastikan Pelaku Tak Nikmati Hasil Korupsi


Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya Hardjuno Wiwoho menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset penting untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan tak lagi dapat menikmati hasil korupsinya dan memberikan landasan hukum yang kuat.

Alasannya, kata dia, RUU Perampasan Aset akan menerapkan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.

“Kuncinya konsistensi dan komitmen dari semua pihak. Jika ini bisa diwujudkan, tidak ada lagi tempat bagi koruptor untuk bersembunyi,” kata Hardjuno dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Maka dari itu, dirinya berharap RUU Perampasan Aset yang saat ini sudah ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat segera disahkan dengan kerangka hukum yang jelas dan implementasi yang matang.

Melalui penerapan NCB yang efektif, Hardjuno optimistis Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Penerapan NCB, menurut dia, mampu memperkuat upaya pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, terutama dalam kondisi di mana pelaku tidak dapat dijerat melalui jalur pidana konvensional.

Tetapi untuk menerapkan penerapan NCB di Indonesia, kata dia, memerlukan beberapa perbaikan, baik dari sisi regulasi maupun budaya hukum.

Dia berpendapat Indonesia membutuhkan regulasi yang secara khusus mengatur mekanisme NCB agar dapat berjalan efektif.

Saat ini, sebagian besar perampasan aset diatur dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, mekanisme tersebut mensyaratkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum aset dapat dirampas.

Dalam banyak kasus, sambung dia, kondisi seperti meninggalnya pelaku atau kurangnya alat bukti sering kali menghambat proses hukum pidana.

"Di sinilah mekanisme NCB menjadi relevan karena memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa harus menunggu pelaku dinyatakan bersalah,” tuturnya menjelaskan.

Oleh karenanya, ia menuturkan regulasi NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana karena jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB.

Meski potensial, Hardjuno menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan NCB, salah satunya resistensi politik dan birokrasi.

Dirinya mengungkapkan bahwa banyak kasus korupsi melibatkan para aktor dari sektor politik dan birokrasi, yang bisa menghambat pelaksanaan instrumen NCB, sehingga dibutuhkan keberanian politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah.

Ia juga menekankan perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Perampasan aset tanpa pemidanaan, lanjut dia, harus dilakukan secara transparan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia.

"Proses ini tidak boleh melanggar prinsip keadilan, terutama terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana,” ujar Hardjuno.

Hardjuno turut menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengimplementasikan NCB lantaran sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri.

Untuk itu, menurutnya, Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor.

Dia pun mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah berhasil menggunakan NCB untuk memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri.

“Kita bisa belajar dari mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NCB bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memerangi korupsi,” ucap dia.

Tidak ada komentar