Denny Januar Ali atau yang akrab dipanggil Denny JA telah membeberkan 3 skenario yang mungkin dimainkan oleh KAMI.
Owner Lembaga Survei Indonesia (LSI) tersebut mengatakan bahwa 3 skema tersebut terbuka karena arah politik praktis tidak bisa diduga atau seperti bola liar. Politik praktis sendiri bisa didesain masuk dan keluar melalui pintu yang berbeda.
Skenario yang pertama, Denny menerangkan bahwa KAMI membawa pemerintahan Jokowi jatuh sebelum berakhir 2024. Namun, menurutnya, KAMI belum cukup kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi saat ini.
Skenario selanjutnya, gerakan KAMI membesar dan segera menemukan calon presiden yang populer untuk diusung pada 2024 mendatang. Menurut Denny, KAMI bisa menjadi leader dengan menggandeng partai politik tertentu yang nantinya berguna untuk mengusung capres pada pemilu 2024.
Menurut Denny, Skenario tersebut hanya terbuka apabila KAMI solid hingga 2024. Namun, konon katanya, kekuatan KAMI juga menjadi kekurangannya. Ia menilai KAMI justru berpotensi pecah ketika harus fokus hanya pada satu pasangan capres dan cawapres saja, karena keberadaan tokoh yang beragam di dalamnya.
Skenario ketiga, Denny meyakini, bawhwa KAMI kan hadir sebagai bunga demokrasi belaka atau hanya sekadar pemanis pemerintahan saat ini.
Pada kesempatan berbeda, Abdul Kadir Karding selaku politikus PKB menilai bahwa apa yang dilakukan oleh KAMI merupakan koalisi orang-orang yang kalah dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 silam.
Menurutnya, hal tersebut bisa diketahi dari menurut tokoh-tokoh yang tergabung dalam KAMI yang sebagaian besar merupakan orang-orang yang kecewa dengan hasil pilpres tahun 2019 lalu.
Karding juga memandang bahwa deklarasi KAMI merupakan langkah yang tidak tepat. Dalam demokrasi, posisi terbaik yang seharusnya diambil pihak yang kalah dalam pilpres adalah mendukung pemerintah untuk hal-hal yang bersifat positif.
Kini masyarakat Indonesia tengah bergotong-royong dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang lahir di tengah pandemi virus corona. Tentu saja tidak tepat jika Deklarasi yang dilakukan oleh KAMI justru melanggar protokol kesehatan sehingga dapat menganggu upaya pemerintah dalam menangani pandemi covid-19.
Ahli Pandemi dan Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan adanya potensi kluster covid-19 pasca acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Lapangan Tugu Proklamasi.
Dalam aksi tersebut, massa terlihat mengabaikan jaga jarak protokol kesehatan pencegahan virus corona. Ratusan orang berkumpul tanpa mengindahkan protokol kesehatan covid-19 terkait jaga jarak.
Dicky menilai, tak adanya penerapan jaga jarak dalam acara KAMI. Menurutnya hal itu menandakan beberapa elemen masyarakat tidak disiplin dalam penerapan protokol kesehatan. Padahal selama pandemi belum berakhir, semua komponen masyarakat haruslah tetap disiplin dalam penerapan intervensi tanpa obat dan vaksin yaitu penerapan perilaku pencegahan.
Pernyataan yang diungkapkan oleh Dicky ini berkaca pada pembentukan mega kluster akibat adanya aksi demonstrasi Black Lives Matter di Australia pasca kematian George Floyd di Amerika Serikat. Demo tersebut dilakukan di Melbourne dengan mengabaikan penggunaan masker dan physical distance.
Demo tersebut dihadiri sekitar 10 ribu orang dan menjadi mega kluster Covid-19. Alhasil muncul 242 kasus yang terjadi di gedung apartemen di kota terhubung atau terkait pada aksi demonstrasi Black Lives Matter protest di Melbourne.
Namun aksi ini rupanya tidak hanya sekedar aksi, salah satu peserta aksi justru mengaku mendapatkan bayaran sebesar Rp 200.000, ia adalah Bu Aminah. Ketida ditanya apa alasan datang ke Tugu Proklamasi, dirinya tidak tahu apa alasannya, hanya saja bu aminah mengaku bahwa dirinya akan datang karena diundang dan dapat uang dan snack.
Deklarasi KAMI memang menarik perhatian publik secara luas, namun bukan berarti masyarkat dengan rela hati ingin mendukung gerakan tersebut. Kalau sudah begini kapan KAMI akan move on? Pilpres masih lama.
*) Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini