Results for "Omnibus Law"
Muhadjir: UU Cipta Kerja Bentuk Revolusi Mental

 


Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan revolusi mental dalam bentuk produk hukum.

Revolusi mental adalah salah satu jargon yang diusung Joko Widodo kala bertarung di Pilpres 2019. Muhadjir berujar lewat UU Cipta Kerja, revolusi mental dilakukan Presiden Jokowi secara struktural.

"Dalam konteks Kemenko PMK Undang-undang Cipta Kerja ini adalah sebuah revolusi mental, dengan pendekatan struktural," kata Muhadjir saat memberi sambutan dalam acara Pertemuan Nasional Manajemen Fasilitas Kesehatan 2020 yang disiarkan melalui YouTube, Rabu (14/10).

Dia menjelaskan ada dua pendekatan untuk mengubah mental seseorang, komunitas, atau masyarakat. Pertama, menggunakan pendekatan penyadaran yakni dengan mengetuk kesadaran orang atau masyarakat agar mau berubah.

Pendekatan kedua dengan metode struktural, yakni dengan cara agak sedikit dipaksa, salah satunya dengan menerbitkan aturan atau alat-alat lainnya.

"Dalam pengalaman, menyentuh kesadaran itu perlu waktu yang lama jika tanpa dibarengi dengan pendekatan struktural," kata dia.

Dari pengalaman itu, menurut Muhadjir, kedua model pendekatan harus bergerak bersama. 

"Merevolusi mental masyarakat kita, mental kita semua. Dari berbagai macam ketidakmajuan menjadi orang yang mau berubah menuju ke mental yang maju," kata dia.

Ia mencontohkan upaya revolusi mental lewat Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satunya adalah mengubah sistem atau mental birokrasi Indonesia yang berbelit-belit.

"Mental birokrasi yang masih mengolor-ngolor urusan. Memperpanjang, mempersulit prosedur, otomatis di balik itu juga pasti ada biaya tinggi, bahkan di situ lah praktik korupsi sebetulnya bersembunyi," kata dia.

"Dengan Undang-undang Ciptaker ini akan dipotong dan tentunya ketika ada pemotongan pasti ada reaksi-reaksi," imbuh dia.

Dalam kesempatan yang sama Muhadjir juga meminta agar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, serta pihak terkait di bidang kesehatan segera mempelajari Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya aturan yang terkait kesehatan. 

"Tidak harus semuanya tapi bagian-bagian yang memang berkaitan dengan tugas pokok, tugas utama kita," kata Muhadjir.

Dengan mempelajari UU Cipta Kerja, Muhadjir berharap lembaga-lembaga di bidang kesehatan bisa segera membuat langkah antisipasi dan aturan turunan pelaksanaan.

Dia yakin UU Cipta Kerja dapat mengembangkan usaha di bidang kesehatan. Terlebih di masa pandemi Covid-19. Masyarakat banyak melirik usaha-usaha di sektor kesehatan .

"Ini adalah momentum yang bagus kalau kita bisa memanfaatkannya maka kita paling tidak bisa kuasai pasar bisnis kesehatan di dalam negeri, syukur kemudian kita bisa menjadi bagian dari ekspor untuk menaikkan devisa di sektor kesehatan ini," katanya. 

(tst/wis)

Redaksi Jumat, 16 Oktober 2020
Waspada Hoax Soal Ruu Cipta Kerja Yang Tersebar Di Media Sosial

 


Belakangan ini di media sosial banyak tersebar berita hoax terkait dengan Omnibus Law RUU cipta kerja.  

Diketahui bahwa RUU Omnibus Law resmi disahkan oleh DPR pada rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020.

Namun, di media sosial banyak netizen yang menghujat dan kecewa terhadap RUU Cipta kerja tersebut karena terlalu banyak berita hoax yang tersebar di media sosial. 

Adapun beberapa kabar hoax yang tersebar seperti mencabut hak buruh, memperparah keadaan buruh, menyengsarakan buruh dan hanya memperkaya pengusaha. 

Berikut beberapa fakta terkait dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja:

1️. Uang Pesangon dihilangkan 

Uang pesangon tetap ada. Tercantum di Bab IV pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156. 

2.  UMP, UMK, UMSP dihapus

Upah minimum tetap ada. Tercantum bab IV pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003. 

3. Upah Buruh dihitung per jam 

Tidak ada ketentuan itu di Omnibus Law (Bab IV pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003)

4️. Semua Hak Cuti hilang. 

Omnibus Law sama sekali tidak mengubah ketentuan cuti yang sudah ada sebelumnya. (Bab IV pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU 13 Tahun 2003).

5️. Outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup

Tidak Ada Pasal yang berbunyi demikian. (Bab IV Pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 66 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003).

6️. Tidak akan Ada status karyawan tetap.

Status karyawan tetap masih ada.(Bab IV pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU 13 Tahun 2003).

7️. Perusahaan bisa memPHK kapanpun

Perusahaan tidak bisa memPHK secara sepihak ( Bab IV pasal 90 Tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003).

8️. Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Lainnya Hilang.

Jaminan sosial tetap masih ada (Bab IV pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU 40 Tahun 2004).

9. Semua karyawan berstatus tenaga kerja harian.

Status karyawan tetap masih ada (Bab IV pasal 89 Tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003).

1️0. Pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon.

Ahli waris tetap dapat pesangon (Bab IV pasal 61)

Seperti diketahui bahwa RUU Cipta Kerja yang juga sering disebut Omnibus Law salah satu cara yang diajukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan investasi yang selama ini masih menghambat kinerja perekonomian nasional.

Redaksi Rabu, 07 Oktober 2020
Omnibus Law Cipta Kerja Adil terhadap Pekerja dan Pengusaha

Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dinilai adil bagi pekerja dan pengusaha. Hal itu disampaikan I Ktut Hadi Priatna, Kepala Biro Hukum, Persidangan dan Humas Kemenko Perekonomian dalam Indonesia Podcast Show 03 yang diadakan oleh PemudaFM.com dengan tema “Omnibus Law di Mata Generasi Milenial” di Beranda Kitchen, Jakarta Selatan, Jumat (14/02) lalu.
“Ini merupakan RUU yang berkeadilan baik bagi pekerja maupun pengusaha,” tutur Hadi Priatna seperti dilansir Jp-newsid.
Menurutnya, melalui RUU Cipta Kerja ini juga ingin mengangkat kesejahteraan para pekerja dan memastikan pemenuhan hak-haknya. Terkait dengan mekanisme upah, dimana pekerja yang bekerja penuh waktu yakni selama 8 jam, harus diberikan upah harian atau bulanan, sedangkan yang bekerja paruh waktu diberikan upah per-jam.
Selain itu ia meluruskan bahwa Omnibus Law berfungsi untuk merevisi bukan mencabut undang-undang yang berlaku. Menurutnya, dengan metode ini perbaikan undang-undang dapat lebih mudah, lebih terarah dan cepat dilaksanakan. Ia juga menambahkan bahwa di Indonesia pun Omnibus Law ini sudah beberapa kali digunakan.
“Omnibus Law ini tidak hanya terkait Pekerja atau Ketenagakerjaan, namun juga terkait penyederhanaan Izin mendirikan usaha. Misalnya saja, salah satu point RUU ini yakni tentang bolehnya mendirikan PT Perseorangan, tidak harus Perseroan,” ujarnya.
Pemerintah terus berupaya dalam rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja bisa mengakomodir semua kepentingan rakyat khususnya para pekerja di seluruh Indonesia. Bahkan draf yang sudah disampaikan ke DPR untuk dibahas sudah melalui proses yang panjang walaupun masih ada pertentangan dari para Serikat Pekerja.
Selain I Ktut Hadi Priatna, dalam acara ini berlaku sebagai narasumber Amelia Diatri Tuangga Dewi, Kepala Subdirektorat Standarisasi dan Fasilitas Pengupahan, Kemenakertrans, Juru Bicara PSI, Mikhail Gorbachev, Wasekum PP FSP KEP SPSI, Afif Johan dan Pengamat Komunikasi Emrus Sihombing.







Berita Kamis, 26 Maret 2020
Omnibus Law Dinilai Tepat untuk Menyederhanakan Regulasi

Jakarta: Wakil Ketua MPR Arsul Sani mendukung upaya pemerintah menyederhanakan regulasi melalui omnibus law. Perundang-undangan di Indonesia dinilai terlalu banyak tetapi cakupannya hampir sama.
 
"Kalau saya pribadi setuju. Bahwa RUU (rancangan undang-undang) dikembangkan dengan pendekatan omnibus law," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Maret 2020.
 
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai regulasi yang banyak berdampak pada kewenangan instansi. Arsul tak heran beberapa instansi pemerintahan memiliki tugas serupa.

Metode yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu dianggap tepat merampingkan regulasi saat ini. Pemerintah dipersilakan mengajukan pembahasan ke DPR.
 
Presiden Jokowi mengajukan empat omnibus law, yaitu RUU Cipta Kerja, Perpajakan dan Ibu Kota Negara. Teranyar, pemerintah mengajukan omnibus law RUU Keamanan Laut.










Sumber: https://www.medcom.id/nasional/politik/yKXAw5ZN-omnibus-law-dinilai-tepat-untuk-menyederhanakan-regulasi?utm_source=share_mobile&utm_medium=share_whatsapp&utm_campaign=share

Berita Sabtu, 14 Maret 2020
Menelisik RUU Omnibus Law yang Banyak Disalahpahami

Ketika 19 Oktober 2019 lalu Joko Widodo kembali dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua, beliau memperkenalkan RUU Omnibus Law. Fungsinya sebagai rancangan Undang-undang untuk memperbaiki banyaknya undang-undang yang tumpang tindih. Mulai dari soal ketenagakerjaan hingga perizinan aturan perusahaan.
Sekarang mari kita lihat, bagaimana seseorang yang mau memulai bisnisnya bisa segera jalan bila harus menunggu Perijinan? Ternyata, proses penerbitannya membutuhkan waktu lama. Seorang teman pengusaha pernah bercerita, suatu hari dia butuh mengirim sebuah produk sebagai contoh produk ke luar Negeri. Dia harus rela merogoh biaya yang banyak ditambah menunggu waktu hingga 2 tahun agar semua surat Perijinan keluar. Jika aturan terus begini, bisakah bisnis berkembang dengan cepat?
Hal ini belum pengalaman pribadi ketika saya harus mengurus perizinan di sebuah daerah di Jakarta dan Bekasi. Selain biaya izin yang menelan jutaan rupiah, saya juga harus menyediakan “biaya tanda tangan” hanya agar Camat bersedia menandatangani surat domisili. Inilah yang menjadikan idiom; orang kaya akan makin kaya. Pasalnya, merekalah yang hanya bisa mengurus perizinan dan bisa mengurus perizinan artinya; harus sudah punya uang terlebih dulu.
Belum lagi ditambah beberapa keanehan atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan bidang yang saya geluti. Misalnya, adalah permintaan aturan amdal. Sebagai pelaku informasi teknologi, yang bahkan tidak kelihatan pekerjaannya itu, dimintain surat pernyataan persetujuan lingkungan untuk limbah?
Perubahan serta kemajuan bidang usaha yang semakin lama semakin cepat serta bertambah semakin membutuhkan kemudahan proses, hal ini tentu harus bisa diantisipasi oleh pemerintah. Daya saing yang semakin kompetitif dari berbagai bidang, membutuhkan kerangka sistem yang bagus agar persaingan yang kompetitif ini menjadi sebuah manfaat yang baik. Belum lagi jumlah penduduk yang meningkat sehingga otomatis pengangguran juga meningkat.
Bila tidak ada sebuah sistem yang baik untuk segera mewadahi hal ini, maka besarnya jumlah penduduk akan menjadi kesia-siaan semata.

Mengapa Omnibus Law ini Muncul?

Indonesia terkenal sebagai negara dengan jumlah perizinan terbanyak serta terpanjang di dunia. Untuk sebuah perijinan pendirian perusahaan saja, setidaknya ada 7-8 ijin yang harus dipenuhi. Belum lagi biaya siluman yang menyertai panjangnya rantai birokrasi, makin banyak meja yang dilewati, akan makin banyak salam tempel. Sebuah biaya yang dikeluarkan selain biaya resmi yang diatur dalam regulasi.
Maka simplifikasi, harmonisasi regulasi dan perizinan akan mendorong peningkatan investasi yang memacu pertumbuhan kegiatan berusaha sangat dibutuhkan. Hal ini juga akan membuka kesempatan munculnya pengusaha-pengusaha baru yang pada gilirannya akan meningkatkan lapangan kerja. Bahkan dalam RUU Cipta Kerja, aspek penyederhanaan perizinan berusaha memiliki porsi paling besar, 52 UU dengan 1034 pasal yang akan disederhanakan.
Munculnya pengusaha-pengusaha baru maka akan memunculkan lapangan pekerjaan yang baru, maka otomatis akan segera menyerap sumber daya manusia dan mengurangi pengangguran.

Bagaimana dengan aturan soal tenaga kerja?

Banyak asumsi bahkan disinformasi yang beredar di media sosial saat ini terkait aturan atau undang-undang yang sudah ada dihapus atau dihilangkan dengan Omnibus Law ini. Dan asumsi-asumsi ini yang banyak diedarkan di masyarakat, salah satunya tulisan bertajuk  Waspada Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang Malah Ngerjain Para Pekerja yang ditulis Pandu, yang aktif juga di gusdurian Yogyakarta.
Ia menuliskan bahwa cuti hamil cuti khusus dan soal pesangon dihapus. Faktanya, sama sekali tidak. Ada beberapa keliruan bacaan, data dan perlu ditelaah lagi oleh penulis tersebut. Saya mungkin bisa sedikit meluruskan beberapa hal yang berhubungan dengan ini. Begini:
Tidak ada hapus Cuti Hamil dan sejenisnya
Omnibus Law tidak mengubah ketentuan pasal 81 dan 82 UU Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 mengatur soal pekerja/buruh perempuan yang bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama. Pasal 82 mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja/buruh perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi buruh yang mengalami keguguran.
Di mana Hak cuti tetap ada, dan Pasal 80, 81, 82, 83, 84 UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjadi pasal terdampak RUU Cipta Kerja. Jadi, bagaimana?
Tentang Pesangon
RUU Cipta Kerja tetap menggunakan kata “pesangon”. RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Hak pesangon, bukan menghapus. Pengubahan hanya pada besarannya, karena pesangon di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Hal Ini yang menghambat perusahaan untuk mengangkat karyawan tetap, karena takut ketika terjadi kondisi sulit, malah bertambah sulit karena beban pesangon.
Faktanya, ketentuan pesangon dalam UU 13 tahun 2003 dibuat pada saat Indonesia belum memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (BPJS). Sehingga pesangon diberikan sebagai jaminan sosial. Dan ditanggung oleh pengusaha.
Namun, sekarang saat BPJS-TK sudah mampu memperoleh laba 29 triliun pada 2018, maka perlahan mampu mengambil alih beban tersebut dengan memberikan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi korban PHK. Dua hal pokok yang bisa dilihat adalah (1) Pemerintah tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK, dan (2) Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan pesangon.
Pasal 59 kenapa dihapus?
Pasal 59 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan adalah pengaturan maksimal masa kontrak PKWT. Jika sudah mencapai 5 tahun, maka wajib diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT). Salah satu alasan mengapa pasal ini hapus adalah perkembangan bisnis proses. Karena pemerintah juga tidak mungkin ikut mencampuri pengelolaan atau bisnis proses sebuah perusahaan. Dan juga sudah diakomodasi dengan penyetaraan HAK Upah dan K3, serta pemberian JKP.
Satu-satunya pembeda pekerja tetap dan pekerja kontrak adalah statusnya. Namun nilai upah sama, THR sama, tunjangan sama, insentif sama. Bahkan punya dana pensiun yang sama, karena hak memiliki BPJS-TK juga sama. Sehingga tidak ada perbedaan biaya yang harus dikeluarkan untuk karyawan tetap, kontrak maupun outsourcing.
Dalam kondisi produktif yang tinggi, perusahaan akan lakukan segala cara agar tidak kehilangan pekerjanya, misalnya, dengan memberikan promosi jabatan, pengangkatan status. Tapi itu ‘kan bisnis proses, pemerintah tidak ingin ikut campur di bisnis proses. Sekarang jika seseorang karyawan kontrak lalu dapat promosi jadi supervisor apakah masih akan dalam status kontrak? Itu tidak mungkin, perusahaan pasti akan mengikat terlebih dahulu.
Efisiensi perusahaan tidak otomatis PHK massal
Soal pasal 154A tentang aturan perusahaan boleh melakukan pemecatan dengan alasan efisiensi, (ini dituduh oleh yang menentang RUU Cipta Kerja), bisa menjadi lubang pemecatan atau PHK besar-besaran oleh perusahaan. PHK besar-besaran akan bertentangan dengan putusan MK 19/PUU-IX/2011. Efisiensi ini nantinya akan diatur lebih detil di dalam teknis, seperti apa kategori, level hingga di titik mana aturan efisiensi ini berlaku.
Ini bukan memberikan kemudahan PHK, Easy Fired. Tapi memberikan kepastian hukum kepada pekerja. Pemerintah memberikan banyak justifikasi yang rasional tentang PHK sebenarnya justru untuk melindungi pekerja dari proses PHK yang berlarut-larut. Kita tentu masih ingat kasus PHK yang penyelesaiannya bertahun-tahun seperti hotel Shangrilla, PT DI di awal tahun 2000an.
Jadi RUU masukan justifikasi “kerugian 2 tahun berturut-turut”, itu biar perusahaan segera PHK sebelum sampai pada titik tidak mampu lagi bayar pesangon dan akhirnya menunggu proses pailit selesai. Kasihan pekerjanya.
Begitu pula dengan justifikasi “penggabungan dan peleburan, pengambilalihan atau pemisahan perusahan” dalam tiap proses merger dan acquitition akan mengubah bisnis model, itu perlu penyesuaian man power, sehingga ini akan melindungi pekerja dari ketidakpastian selama proses M&A berjalan. Penambahan justifikasi tersebut juga disertai dengan perlindungan Jaminan kehiangan pekerjaan. JKP dan Kartu PraKerja tsb akan melindungi korban PHK, sampai dia mendapatkan pekerjaan kembali.
Penghapusan AMDAL
Soal Amdal, sudah saya singgung di atas, perlu ada penyesuaian. Mana mungkin bisnis atau bidang usaha IT seperti saya ini harus mengurus ijin soal dampak lingkungan terutama limbah? Kan ya lucu kalau sebuah entitas usaha di digital, seperti media online, misalnya, harus beresin izin persoalan Amdal?
Amdal tetap ada, hanya sekarang digabung dalam proses perizinan usaha, dan RUU Cipta Kerja memberikan kriteria usaha. Ini sebuah perubahan paradigma, dari “tiap usaha harus ada amdal” menjadi “tiap usaha harus sesuai kriteria izin lingkungan”.
RUU Cipta Kerja mengkategorikan usaha risiko tinggi, sedang dan rendah. Amdal diwajiban untuk usaha risiko tinggo, usaha risiko sedang cukup izin lingkungan dan usaha resika rendah cukup surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan pemeliharaan lingkungan. Apalagi, sejauh pengalaman saya, AMDAL ini masih menjadi alat pungli bagi banyak pihak. Jadi AMDAL memang harus disesuaikan dengan kondisi dan jenis usaha bahkan skala usahanya.

Saatnya Indonesia Maju

Saya memang pengusaha, tapi saya berasal dari keluarga buruh. Kakak saya saat ini tercatat sebagai buruh disebuah perusahaan sabun, dan saudara-saudara yang lain juga banyak yang jadi buruh hingga sekarang. Saya juga memahami perjuangan teman-teman buruh, sekaligus mensingkronkan dengan cara pandang saya sebagai pengusaha.
Sudah waktunya untuk maju satu dua langkah ke depan. Buruh juga harus meningkatkan kemampuannya baik secara akademis maupun ketrampilan. Karena suatu hari nanti, akan muncul robot yang lebih terampil dan tidak punya emosi dalam bekerja, sehingga pengusaha tidak lagi perlu berhadapan dengan protes-protes yang menganggu aktivitas.
Yang saya tahu, sebagai orang muslim, Nahdlatul Ulama pula dan NU adalah organisasi terbesar di Indonesia maka bisa diasumsikan pengangguran terbesar juga berasal dari NU. Maka orang NU atau bahkan pengurus besarnya harus lebih bijak dalam memandang kemunculan RUU Omnibus Law ini. Dan, saya kira, begitu juga organisasi lain seperti Muhamadiyah, Persis dan lain-lain.
RUU Cipta Kerja ini merupakan jawaban atas amanat pasal 27 UUD 1945 ayat “tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.  RUU Cipta Kerja ini bertujuan mempermudah perizinan, bukankah salah satu kewajiban religious kita adalah “mempermudah urusan orang banyak”. Termasuk mempermudah tiap-tiap anak bangsa ini mendapatkan lapangan pekerjaan.
Bukankan kita selalu berdoa, “Ya Allah permudahlah dan jangan Engkau persulit!”. Lalu mengapa tidak kita jadi bagian untuk mempermudah urusan orang banyak? Sehingga Allah swt yang Maha Memudahkan seluruh kesulitan juga mempermudah semua urusan kita. Wallahu ‘alam.







Berita
Presiden Jokowi: Ada Omnibus Law, Usaha Kecil Tak Perlu Banyak Izin

JAKARTA - Pemerintah telah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR RI untuk selanjutnya dilakukan pembahasan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun berharap, dengan adanya RUU tersebut dapat meningkatkan pelayanan terhadap usaha-usaha kecil dan mikro
"Ini nanti dengan omnibus law, yang kecil kecil ini dilayani, tak perlu banyak-banyak izin yang usaha mikro usaha kecil. Yang paling penting mereka pegang izin, mereka miliki," ujar dia pada acara Rakornas Investasi 2020 di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Dia menjelaskan, dirinya meminta kepada seluruh bupati atau wali kota untuk memberikan target kepada Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terkait pemberian izin usaha kepada usaha-usaha kecil.
"Tahun ini harus diberikan kepada 10 ribu usaha kecil, gratis. Yang aktif dari kantor PTSP lebih baik. Yang kecil-kecil ini dilayani, datangi, saya dulu seperti itu kalau masih wali kota saya beri target, tahun ini 1.000, tahun depan 10.000, tahun depan 20.000," ungkap dia.
Kemudian, lanjut dia, pihaknya ingin DPMPTSP di seluruh Indonesia untuk aktif turun ke lapangan memberikan izin kepada pemilik usaha kecil. Sebab dengan mudahnya pemberian izin akan mempengaruhi akses modal pemilik usaha tersebut.
"Kalau seluruh usaha kecil usaha mikro usaha tengah punya izin, akses modal akan lebih mudah. Jadi akses sisi keuangan akan lebih gampang karena yang namanya kita ingin akses modal ke bank itu pasti ditanya izin," pungkasnya.





Berita Senin, 02 Maret 2020
Pengamat Ekonomi Dukung Omnibus Law

Rencana Undang undang Omnibus Law dinilai pro dan kontra. Namun ada nilai positif dari Omnibus Law tersebut.
Pernyataan ini disampaikan pengamat Ekonomi Aceh, Dr. Amri, SE., M. Si, kepada media ini, Senin (24/2).
“Saya menganggap ini sangat positif uu Omnibus Law,” jelasnya.
Omnibus Law merupakan penyederhanaan regulasi dan kepastian berinvestasi di Indonesia.
Dr. Amri menilai, investor dalam negeri memudahkan investasi karena adanya kepastian hukum demi menghindari birokrasi yang panjang dan berbelit belit.
“Sehingga Indonesia keluar dari negara berkembang menuju negara maju,” ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsyiah ini.
Indonesia sebagai negara berkembang (income modle traps), untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat dan meningkatkan lapangan pekerjaan. Atau dengan kata lain mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, pemerataan ekonomi, pertumbuhan ekonomi atau mensejahterakan rakyat Indonesia.
Omnibus Law dapat sama sama menguntungan antara buruh dan pengusaha atau pemilik perusahaan. Jadi, apa yang dikerjakan buruh di sebuah perusahaan sesuai dengan hasil diperolehnya.
Sambungnya, selama ini investor yang menanamkan modalnya di Aceh, sebab tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP), menjadi sebuah kendala untuk menggaji tenaga kerja.
“UMP Aceh mencapai Rp 3,2 juta,” jelasnya.
Ia menilai, investor orang kaya dan tujuannya ada profit (keuntungan). Bagi investor tentu mau berinvestasi bila rugi.
“Jadi, harus ada diuntungkan antara buruh dan pengusaha,” kata Dr. Amri.
Ia mengatakan, gaji tinggi tentu yang diuntungkan buruh namun harus ada keseimbangan pengusaha supaya mendapatkan keuntungan.
“Kata kuncinya saling menguntungkan atau win win solution,” paparnya lagi.
Lanjutnya, kalau buruh untung sementara pengusaha rugi maka tidak bisa jalan perusahaan kedua duanya.
“Kesepakatan antara buruh dan pengusaha itu perlu. Sebab bisa rugi semua,” ungkapnya.
Ia berharap, dengannya pergub Aceh tentang UMP supaya tetap diimplementasikan. Jika ada ketimpangan maka perlu dikomunikasikan antara buruh dan pengusaha.
Dr. Amri yang telah memiliki sertifikat Perencanaan pembangunan (planning ) &Penganggaran Uang Negara (Budgeting) baik di level Nasional maupun International (Graduate Research Institute for Policy Studies. Tokyo,Jepang). (rus).





Berita Selasa, 25 Februari 2020
PMII Bali Nusra Angkat Bicara Tentang RUU Omnibus Law


Mataram | Ketua PKC PMII Bali Nusra Aziz Muslim memberikan tanggapan rencana penerbitan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Tanggapan ia sampaikan, salah satunya terkait aturan pesangon dan upah.

Menurutnya, Semua Aspek Kepemerintahan harus melihat Sesuatu yang lebih besar ketimbang mengurusi persoalan pesangon. Pasalnya, saat ini masih banyak masyarakat yang belum bekerja, atau sudah bekerja tapi pendapatan mereka minim.


"Yang paling baik seharusnya pemerintah daerah sampai pusat harus memperhatikan segala aspek terkait tenaga kerja agar tidak terjadi ketimpangan"Ujarnya di sekretariat PKC PMII Bali Nusra. (5/2).

Contohnya, subsidi listrik sebesar 40 persen yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat yang kurang mampu masih banyak masyarakat yang belum memiliki  pendapatan stabil, atau menganggur.

Diketahui, berdasarkan UU Ketenagakerjaan, para pengusaha diwajibkan untuk membayar pesangon pekerja.


Sumber

Berita Rabu, 05 Februari 2020