Mataram - Diskusi dan telaah terhadap pasal-pasal kontroversi Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengalami peningkatan pasca penolakan dan aksi demonstrasi yang meluas di sebagian besar wilayah. Dewan Mahasiswa Universitas Nahdlatul Watahan Mataram (UNW Mataram) Kampus Anjani Lombok Timur menyikapi perkembangan isu penolakan beberapa Rancangan Undang-Undang dengan mengadakan Kuliah Kebangsaan yang mengambil tema, “Urgensi Penolakan RKUHP” pada hari Sabtu, 05/10/2019 kemarin.
Kuliah Kebangsaan diikuti oleh 227 orang mahasiswa yang menghadirkan pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Mataram, Taufan, S.H., M.H, yang sekaligus juga mengajar di Fakultas Administrasi (FIA) UNW Mataram, sebelumnya juga telah dilaksanakan diskusi terbuka di kampus induk UNW Mataram dengan tema yang sama di inisiasi oleh unit kegiatan mahasiswa Kaktus Literasi. Kuliah Kebangsaan ini dihadiri pula oleh Dosen dan Wakil Dekan I FIA UNW Mataram, Lalu Moh. Nazar Fajri, S.E., MPA, dan Muh. Nizar, MM.
Hamdun Haqiqi selaku ketua Dewan Mahasiswa menyampaikan pentingnya kegiatan kuliah kebangsaan untuk mengkaji terlebih dahulu perkembangan aksi demonstrasi yang terus meluas di berbagai wilayah,
“Kita memperhatikan kondisi-kondisi terkini, mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menolaK RKUHP, di NTB demonstrasi dilaksanakan beberapa waktu lalu. Untuk itulah kami perlu memahami dulu bagaimana sebenarnya RKUHP ini sebelum berkomentar dan berbuat biar tidak keliru, kami perlu mendapatkan pemahaman dari ahlinya terlebih dahulu, karena kami belum memahami bagaimana sebenarnya RKUHP ini, mahasiswa harus kritis, acara ini termasuk acara untuk mengembangkan semangat kritis mahasiswa, dan kita harus terus mengkaji berbagai perkembangan dengan diskusi dan kuliah umum”. Ujarnya.
Antusiasme mahasiswa terhadap RKUHP terlihat dari jumlah mahasiswa yang tercatat mencapai 227 orang, melebihi kapasitas ruangan. Serta, pertanyaan-pertanyaan mahasiswa yang kritis dan ingin memahami lebih mendalam terkait pasal-pasal RKUHP, walaupun tidak mengambil kekhususan studi ilmu hukum. Media ini merangkum poin-poin penting dalam kuliah kebangsaan yang berlangsung selama kurang lebih 3 (tiga) jam tersebut.
Pasal “Ayam Peliharaan Masuk Ke Kebun Orang”
Taufan, S.H., M.H, yang sebelumnya menyampaikan komentar terkait isu-isu yang berkembang, khususnya pasal-pasal kontroversial dalam KUHP. Dalam kesempatan ini, Taufan menguraikan beberapa ketentuan yang mendapat sorotan, diantaranya terkait ayam peliharaan masuk ke kebun orang, Taufan menguraikan, “Di dalam KUHP lama juga di atur, di dalam Pasal 548 dan Pasal 549, Sedangkan di dalam RKUHP diatur di dalam Pasal 278 dan Pasal 279. Perbedaannya hanya terletak pada Jumlah Pidana Denda bila dalam RKUHP ancaman pidana dendanya katagori II (10 juta rupiah), pidana denda bisa digantikan dengan pidana kerja sosial. Baik KUHP yang lama maupun KUHP kelihatannya bertujuan melindungi para petani dari gagal panen yang disebabkan oleh unggas/ternak yang dimiliki oleh orang lain tersebut sehingga mengalami kerugian, karena di pasal itu dicantumkan kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain. Disamping itu penekanan Pasal ini seharusnya dapat dimaknai sebagai upaya preventif mencegah setiap orang untuk selalu menjaga setiap unggasnya atau ternaknya untuk tidak dilepas sembarangan dan merugikan orang lain. Kemudian, dalam penjatuhan pidana hakim juga memperahtikan tujuan dan pedoman pidana. Tentunya masyarakat dan penegak hukum juga perlu memahami, dalam hal ini tidak semua hal harus di selesaikan menggunakan hukum pidana melalui peradilan pidana, hukum pidana dijadikan ultimum remidium atau alat terakhir, masih ada saluran lain yang tidak bertentangan dengan hukum.”
Pasal “Suami Perkosa Istri”
“Kemudian yang perlu diuraikan adalah terkait kontroversi perluasaan delik yang dianggap mengatur suami perkosa istri, di dalam KUHP sekarang, pengaturan terkait perkosaan yaitu di dalam Pasal 285 dan Pasal 336. Di dalam KUHP, ditegaskan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan. Di dalam RKUHP pengaturan terkait perkosaan ditegaskan dalam Pasal 479 ayat (1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Memperhatikan kedua perbandingannya, dalam RKUHP tidak mencantumkan di luar perkawinan, yang artinya pasal ini dapat pula digunakan dalam semua perbuatan yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa persetubuhan, termasuk di dalam hubungan perkawinan. Dalam penjelasan dikatakan bahwa, perkosaan tidak hanya persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan yang bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut, melainkan diperluas, termasuk laki laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan.”
Pasal 479 ayat (2) huruf RKUHP kemudian mengatur pula perluasan yang ditujukan kepada seseorang dengan persetujuannya percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya. Perlu diperhatikan pasal ini tidak menegaskan adanya bagian dari marital rape (pemerkosaan dalam perkawinan) atau patner rape (pemerkosaan dalam hubungan) sebab frasa karena orang tersebut percaya dapat diartikan sangkaan atau mengira dan dipenjelasan disebutkan secara jelas bahwa yang menjadi korban disini bisa suami ataupun istri. Pemaknaan pasal ini mengarah pada misalnya, suami/istri hilang kesadarannya, dihipnotis, mati lampu, atau operasi plastik mungkin, sehingga mengira orang yang melakukan hubungan dengannya adalah pasangannya. Karena jelas ada frasa dengan persetujuan”.
“Pengaturan pemerkosaan dalam perkawinan dapat dikaitkan dengan Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang secara eksplisit memasukkan marital rape meliputi dua hal, Pertama, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Kedua, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil yang menjadi bagian dari kekerasan seksual. Perbedaanya, pasal ini tidak menggunakan istilah perkosaan, tetapi langsung menggunakan diksi kekerasan. Di dalam penjelasan Pasal 8 UU KDRT juga disebutkan yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual secara wajar atau tidak wajar atau tidak disukai. Artinya Pasal 479 ayat (2) huruf a, jelas berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam UU PKDRT. Perbedaan umum Pasal 479 dengan UU PKDRT adalah, Pasal 479 merupakan delik biasa, sedangkan kekerasan fisik dalam UU PKDRT adalah delik aduan. Jadi jika ada kasus yang diadukan, Polisi menggunakan UU PKDRT, merujuk pada asas lex specialis. Terkait kontroversi perlu tidaknya dimasukan ke dalam RKUHP, kita kembalikan kepada masyarakat, apakah perlu hukum pidana ikut campur dalam ruang private rumah tangga.”
Pasal “Gelandangan”
“Selanjutnya, pasal gelandangan, kalau dibuka kembali, dalam KUHP sekarang terdapat pada Pasal 505, termasuk pada Buku III tentang Pelanggaran. Jika demikian, kenapa masih banyak gelandangan yang tidak diproses padahal sudah ada pasalnya? Saya pikir Polisi tidak sekejam itu, menangkap dan memproses semua gelandangan, kecuali memang sudah sangat mengganggu ketertiban umum, sudah menjadi kewajiban Polisi menjaga ketertiban umum. Dan juga jika ditangkap, mungkin akan lebih merepotkan, mau ditaruh dimana? Bagaimana makanan dan kebutuhan lainnya? Tahanan saja sudah penuh, mau titip di Lapas juga penuh. Kalau di negara-negara maju mungkin gelandangan sudah disediakan wisma. Kalau di Indonesia Dinas Sosial juga berperan, Polisi berkoordinasi dengan Dinas Sosial, walau perlu diakui karena fasilitas dan sarana serta anggaran yang terbatas, penanganan gelandang masih belum optimal. Maka dari itulah, pembaharuan RKUHP harus diimbangi dengan kebijakan lain, perbaikan keseluruhan komponen, baik fasilitas dan sarana, kesediaan anggaran serta perlengkapan sistem peradilan pidana.
Di dalam RKUHP, gelandangan tercantum dalam Pasal 431. Unsur penting yang harus dipenuhi dalam pasal ini adalah mengganggu ketertiban umum. Di dalam KUHP sekarang, ancaman pidana yang diberikan kepada setiap orang yang bergelandangan tersebut adalah pidana kurungan, sedangkan dalam KUHP yang baru dikenakan pidana denda. Kemudian dari sanksi denda ini, ada pernyataan, bagaimana gelandangan mau bayar denda uang saja tidak punya, hal ini setidaknya telah diatur dalam pedoman pengenaan denda yang diantaranya menyatakan hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata, dapat diangsur, atau penyitaan harta benda, dan jika tidak mampu diganti dengan pidana penjara, diterapkan pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial.”
“Persoalan gelandangan ini sebenarnya sudah diatur melalui beberapa Peraturan Pemerintah. Gelandangan didefinisikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Pengaturan lain terhadap gelandangan juga terdapat didalam Perkapolri, didalamnya diatur tata cara preventif dan penegakkan hukum dalam menangani gelandangan dan pengemis. Dengan masuknya pasal ini kedalam RKUHP menegaskan bahwa negara secara tidak langsung diwajibkan hadir untuk mencegah gelandangan dengan mewujudkan Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34 UUD 1945 negara memberikan hak kepada warga negara untuk memperoleh kesejahtraan sosial yang sebesar besarnya dan memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak anak terlantar untuk dipelihara oleh negara. Pasal ini sekaligus ingin memberikan sinyal bagi pemerintah untuk bisa menghapuskan kemiskinan dan pergelandangan sebagai wujud negara sejahtera melalui berbagai kebijakan. Artinya pula, gelandangan atau kejahatan lainnya itu perlu dilihat secara luas, bukan aspek yuridis semata, tetapi Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga mengupayakan kebijakan menekan angka kejahatan maupun pelanggaran, bukan hanya urusan Polisi, Jaksa atau Hakim. Dalam hukum pidana, di kenal upaya penal atau represif juga upaya nonpenal atau preventif.”
Pasal “Perzinaan Bukan Suami Atau Istri”
Taufan juga kembali menguraikan maksud ketentuan pidana terhadap perzinaan Pasal 417, “Pasal ini memang hal baru, di dalam KUHP sekarang tidak di atur, hanya zina dalam lingkup orang yang melakukan atau salah satunya terikat dalam perkawinan, jika di lihat pasal ini memperluas delik zina, sepertinya disesuaikan dengan nilai masyarakat Indonesia, karena mayoritas akan menganggap bahwa zina ini adalah perbuatan salah, namun persoalannya apakah hukum pidana perlu mengatur, itu bisa diperdebatkan, saya pikir rumusan pasal ini mengambil jalan tengah, dengan batasan delik aduan, jadi di adukan dulu ke Polisi, Polisi tidak bisa langsung proses kalau tidak diadukan, dan bisa ditarik sebelum pemeriksaan persidangan dimulai. Kalau kumpul kebo, Pasal 418 sejenis juga yang diatur, hanya frasanya melakukan hidup bersama sebagai suami istri, untuk delik ini bisa diadukan oleh kepala desa sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orangtua, atau anaknya. Ketentuan pidana dalam kedua pasal ini sifatnya alternatif, penjara atau denda serta pengecualian Pasal 25, 26 dan 30.”
“Jadi menurut saya, pasal ini ingin memberikan perlindungan masyarakat dan para pihak serta aspek pencegahan, dari pada memicu main hakim sendiri jika terjadi apa-apa karena sudah banyak kasus. Di beberapa wilayah juga aturan adat atau lingkungan mengatur masalah zina atau kumpul kebo ini. Jika telah diadukan ke Polisi, di nikahkan saja, aduan bisa di cabut. Polisi pun harus memahami pasal ini, jangan sampai nanti asal tangkap atau terus diproses padahal sudah disepakati penyelesaian di luar peradilan pidana misalnya.”
“Jika tidak diatur perzinaan dan kumpul kebo ini juga mungkin malah akan lebih banyak yang protes, banyak pihak yang menilai ini penting, karena buktinya juga banyak kasus terkait ini. Perlu dimaknai pasal ini dilandasi oleh ide dasar Pancasila yang mengandung didalamnya nilai keseimbangan moral relegius, kemanusian, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Makanya rumusannya kemudian seperti itu, hukum pidana merasa terpanggil untuk mengatur dalam norma sebagai moral statement bangsa Indonesia”.
Pasal “Santet”
Terkait pasal santet, Taufan menguraikan, “Di KUHP yang berlaku sekarang, sudah diatur substansi yang mengarah pasal yang dianggap kriminalisasi santet. Didalam KUHP sekarang kegiatan yang dianggap mempunyai kekuatan gaib tersebut hanya ditujukan kepada para peramal yaitu yang menjadikan sebagai pencariannya untuk peruntungan,ramalan, atau penafsiran impian), dan para penjual benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib seperti jimat atau benda yang dianggap gaib. Disamping itu KUHP lama juga menyasar bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan dan bagi para saksi yang menggunakan benda-benda gaib atau jimat juga bisa dikenakan delik tindak pidana. Sedangkan dalam KUHP yang baru ketentuannya hampir sama yaitu penekanannya pada setiap orang yang menyatakan dirinya mempuyai kekuatan gaib, akan tetapi yang ditujukannya kepada mereka yang dapat menimbulkan penyakit, kematian atau penderitaan mental atau fisik. Disamping itu bila yang bersangkutan menggunakan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan mata pencarian hukumannya ditambah sepertiga. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan perdebatan terkait dengan tindak pidana santet ini atau bagi mereka yang mempunyai kekuatan magis ini, terletak pada kemampuan para penegak hukum untuk membuktikan adanya perbuatan gaib tersebut sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. Karena dalam penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas, sebab selama ini kebanyakan dari putusan pengadilan yang memutus persoalan terkait dengan praktek paranormal ini justru mengarah kepada tindak pidana penipuan. Berdasar ketentuan RKUHP, yang termasuk dalam delik untuk dibuktikan penegak hukum adalah: setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik, serta pidana dapat ditambah satu per tiga apabila mampu membuktikan unsur mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.”
Pasal “Penghinaan Presiden”
Terkait pasal penghinaan presiden, menurut Taufan, “Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela. Memang pasal khusus penghinaan Presiden telah dihapus dalam KUHP sekarang, namun tetap dapat menggunakan Pasal 310 KUHP sekarang bagi Presiden, sama dengan orang umum. Jika akan dimunculkan kembali khusus penghinaan presiden dikhawatirkan banyak pihak di salah gunakan untuk pengkritik presiden yang berbeda pandangan politik atau oposisi. Namun pasal ini mensyaratkan tetap Presiden mengadukan, bedanya Presiden bisa mengadukan secara tertulis, jadi tidak langsung ditangkap. Perlu di cermati frasa pasal ini yang menyatakan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden.
“Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan pula Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Saya pikir kekhawatiran pasal ini terkait implementasinya, memang memiliki potensi terhadap upaya membungkam kritik, tidak bisa kita pungkiri, kita kembalikan pada kebutuhan negara pada pasal ini, apabila dipertahankan perlu pemahaman terhadap kita semua, baik penegak hukum maupun masyarakat, harus di pahami konteks kritik dan penghinaan.”
RKUHP, HAM dan Pancasila
Taufan menegaskan bahwa RKUHP merupakan bentuk hukum yang merepresentasikan kultur dan nilai-nilai masyarakat Indonesia, “Setiap pasal dalam RKUHP memiliki nilai filosofis, ada tujuan yang melekat, RKUHP ini indikatornya adalah nilai moral masyarakat Indonesia, bukan nilai masyarakat negara lain, kalau KUHP yang berlaku sekarang jelas karena warisan Belanda, walau dilakukan penyesuaian beberapa pasal dengan penerjemahan bahasa Inonesia, namun pada dasarnya awalnya patokannya adalah moral orang Belanda, kalau diberikan perumpamaan, KUHP ini anak tiri, RKUHP anak kandung karena para guru besar kita yang menyusun, dari tahun 1963. Sayangnya ditolak, mungkinkah moral kita sudah berpatok pada negara Belanda, bisa jadi hukumnya mempengaruhi nilai masyarakat Indonesia. Banyak yang menolak itu kaitkan dengan konsep negara lain, itu bisa-bisa saja, karena konsep hukum pidana juga dari sana, tapi kita diharuskan tetap mendasarkan pada Pancasila. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.” Jelas Taufan.
“Jika ada yang teriak HAM (hak asasi manusia), baiknya juga kita memahami konteks HAM Indonesia, di Pembukaan UUD jelas menyatakan atas berkat rahmat tuhan dan seterusnya, artinya HAM kita adalah HAM Ketuhanan, maka tidak hanya menuntut hak, tetapi kita punya kewajiban di hadapan tuhan karena kebesarannya melekatkan hak pada kita, jelas juga dalam UU HAM, hak itu adalah pemberian tuhan. Sedangkan Declaration of Human Right itu semangatnya awalnya universalisme, prinsip kemanusiaan, bukan ketuhanan, beda napasnya dengan HAM Indonesia, walaupun kita telah meratifikasi dan juga mengadopsi dalam UUD, dalam konteks HAM itu terdapat ruang perdebatan pula. Tetapi sejenak kita pinggirkan perdebatan itu, yang jelas dan terang adalah hukum kita dasarnya adalah Pancasila sebagai staatfundamenta norm (norma fundamental negara), ground norm (hukum dasar), juga sebagai recht ide (cita hukum).
“Jadi, mari sama-sama kita cermati, dalam ruang-ruang diskusi norma dan moral dalam KUHP, kita bumbui cita rasa Indonesia, cara berpikir kita sudah dibatasi dengan Pancasila. Jika menggugat untuk diskusi melampaui itu, maka tidak bisa pinggirkan Pancasila atau setidaknya menyandingkannya. RKUHP memang berpijak pada konsep Barat, tetapi jika berbicara norma, maka nilai moral norma itu harus berdasar nilai masyarakat Indonesia yang berwujud Pancasila. Penentuan perbuatan dan sanksi pidana dalam pembaharuan hukum pidana telah ditegaskan pula salah satunya adalah berdasar pada tujuan negara, di samping analisis biaya dan manfaat serta kemampuan alat negara.”
“Sekarang tergantung masyarakat Indonesia, termasuk kita semua di sini, sepakat atau tidak beberapa pasal kontroversi itu dimasukan dalam RKUHP. Jadi kalau memang RKUHP sekarang tidak sesuai Pancasila, itu adalah titik untuk menolaknya.
Yang penting, dalam membaca RKUHP, perlu juga kiranya kita sama-sama mencermati keseluruhan hukum, termasuk Buku I RKUHP yang mengatur terkait aturan umumnya, diantaranya Bab tentang pemidanaan, pidana dan tindakan. Hal demikian setidaknya telah mengadopsi berbagai konsep pemidanaan, yaitu tujuan pidana adalah memperhatikan tujuan sebagai ciri aliran modern, yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Selain itu, yang perlu diketahui, RKUHP ini hukum pidana induk, jika undang-undang lain juga menentukan, maka digunakan undang-undang tersebut, seperti UU Korupsi, UU Terorisme dan undang-undang lain yang menentukan pidana, berdasar asas lex spesialis, dan Pasal 187 RKUHP sudah mencantumkan keberlakuan undang-undang lain. Hukum pidana berusaha hati-hati menerapkan pidana karena wajib mempertimbangkan tujuan, maka ini yang harus benar-benar dipahami oleh penegak hukum dan penguasa, jangan sampai menakuti masyarakat dengan hukum pidana, karena maksud penyusun RKUHP sangat mulia.” Urai Taufan.
Upaya Penjatuhan Presiden?
Lalu Moh. Nazar Fajri, S.E., MPA, menanggapi terkait pertanyaan peserta mahasiswa yang ingin mengetahui keterkaitan aksi demonstrasi dan penjatuhan Presiden ataupun membatalkan pelantikan Presiden. Menurut Nazar, “Berbagai analisis bisa saja diarahkan kesana, tetapi terlalu dangkal dan tidak berdasar juga apabila dikatakan gerakan mahasiswa ditunggangi ataupun ada pihak lain yang menggerakan, ini akan menghilangkan esensi perjuangan mahasiswa yang benar-benar menuntut keadilan, bisa jadi ini puncak kegelisahan mahasiswa dari rangkaian permasalahan yang dialami bangsa, karena tidak semua yang demonstrasi tolak RKUHP, lebih banyak juga yang tolak revisi UU KPK, karena memang pro kontra perubahan kewenangan KPK dan juga mempermasalahkan RUU lain, kebakaran hutan, konflik Papua, hanya yang muncul RKUHP.
“Makanya kita perlu kuliah umum seperti ini, karena harus jelas aksi penuntutan itu untuk apa, tidak hanya ikut-ikutan tren demo. Dan untuk isu pemakzulan itu juga tidak gampang, dalam administrasi kita mempelajari, itu sudah diatur secara ketat, bagaimana prosesnya, panjang dan tidak mudah”. Tutupnya. (PN)
Mengurai Pasal Kontroversi RKUHP, Mahasiswa UNW: Utamakan Diskusi Sebelum Aksi
Berita
Selasa, 08 Oktober 2019